Minggu, 31 Mei 2009

BUKTI KEWARGANEGARAAN RI BAGI WNI TIONGHOA

BUKTI kewarganegaraan Republik Indonesia (RI) bagi Warga Negara Indonesia (WNI) Golongan Tionghoa cukup dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP)/Kartu Keluarga/Akta Kelahiran atau Akta Kenal Lahir diatur dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres RI) Nomor 56 Tahun 1996 tanggal 8 Juli 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia juncto Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tertanggal 18 Juni tahun 2002 Nomor 471.2/1265 juncto Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 23 April 2004 Nomor 500-1020.
Dalam Keppres RI Nomor 56 Tahun 1996 Pasal 4 butir 2 berbunyi :
"Bagi Warga Negara Republik Indonesia yang telah memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), atau Kartu Keluarga (KK), atau Akte Kelahiran, pemenuhan kebutuhan persyaratan untuk kepentingan tertentu tersebut cukup menggunakan Kartu Tanda Penduduk, atau Kartu Keluarga (KK), atau Akte Kelahiran tersebut".

Sedangka Pasal 5 berbunyi : "Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, maka segala peraturan perundang-undangan yang untuk kepentingan tertentu mempersyaratkan SBKRI (surat bukti kewarganegaraan republik Indonesia), dinyatakan tidak berlaku lagi."
Kemudian, setelah itu dikeluarkanlah Instruksi Presiden Nomor 4 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1996 yang menginstruksikan tidak berlakunya SKBRI bagi etnis Tinghoa yang sudah menjadi WNI.

(sumber : disampaikan oleh Winanto Wiryomartani, S.H., M.Hum. pada Kongres XX Ikatan Notaris Indonesia di Surabaya, tanggal 29 Januari 2009)

INFO TENTANG PENGIKATAN JUAL BELI

DALAM perjanjian pengikatan jual beli antara A dan B, setelah terjadi pelunasan harga jual beli, SSB, dan SSP, harus diikuti dengan akta Jual Beli PPAT dan sertipikat harus dibalik nama dari nama A (penjual) ke nama B (pembeli), kemudian barulah B dapat menjual lagi kepada pihak lain.
Selama sertipikat belum dibaliknama ke atas nama B, masih dalam bentuk pengikatan jual beli A kepada B, maka B dilarang membuat perjanjian Jual Beli lagi dengan C. Jangan dibuat kuasa tersendiri dari A kepada B atau kepada pihak lain untuk menjual bidang tanah milik A tersebut.
Notaris diminta jangan membuat akta yang saling bertentangan, contohnya : dalam pengikatan jual beli antara A (pemilik) dan B (pembeli) dinyatakan pembayarannya sudah lunas, kemudian akta berikutnya menyatakan pembayaran baru lunas dan dibayar dengan angsuran. Hal ini akan menimbulkan masalah di kemudian hari.
Dalam Pengikatan Jual Beli, harus dengan tegas disebutkan syarat batal apabila pembeli dalam waktu yang ditentukan tidak melakulan pembayaran.
(sumber : Makalah ini ditulis oleh Winanto Wiryomartani, S.H.,M.Hum, disampaikan pada Kongres XX INI, di Surabaya, 29 Januari 2009).